Puluhan orang dengan pakaian serba hitam berdiri tak mengucap sepatah kata di depan Istana Negara, pada Kamis (18/01).
Namun, kasus-kasus ini tidak kunjung usai. Upaya-upaya para pegiat di media sosial – seperti memunculkan tagar #AsalBukanPrabowo yang menolak Prabowo Subianto sebagai presiden karena rekam jejak tindakannya terhadap HAM – juga tidak berhasil membuat isu HAM menjadi arus utama.
Alih-alih kampanye-kampanye jenaka seperti ‘gemoy’ seperti yang dilakukan tim kampanye Prabowo-Gibran Rakabuming Raka atau ‘Aniesbubble’ dari pihak Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar lebih mendapatkan respons warganet.
Menurut sejumlah survei, elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berada di urutan teratas, seperti dilansir Kompas.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Suciwati, aktivis HAM yang juga istri Munir Said Thalib – seorang aktivis HAM yang tewas dibunuh pada 2004 dan hingga kini masih belum terungkap – mengakui bahwa Aksi Kamisan kelihatannya jalan di tempat. Dia bahkan menyebut isu HAM “mengalami kemunduran yang luar biasa” dengan keberadaan “penjahat HAM” yang masih menjabat.
Kendati demikian, Suciwati mengaku pihaknya konsisten menolak keras siapapun capres-cawapres yang dia anggap sebagai pelaku pelanggaran HAM berat. Dia tidak khawatir tentang anggapan bahwa Aksi Kamisan dipakai untuk kepentingan politik terkait Pilpres 2024.
Juru bicara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Aiman Witjaksono, menyayangkan Aksi Kamisan yang “terus berulang tahun”.
Adapun juru bicara pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Amiruddin Al Rahab, mengapresiasi Aksi Kamisan yang secara konsisten “mengajak banyak orang menumbuhkan rasa kemanusiaan”.
Wakil Ketua Umum PAN sekaligus Direktur juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Viva Yoga Mauladi, menyebut Prabowo selalu didiskreditkan setiap lima tahun sekali dengan “memutar hal-hal yang sudah selesai.”
Mengapa isu HAM tidak menjadi arus utama? Hal-hal apa yang dilakukan para aktivis sehingga persoalan pelanggaran HAM konsisten menjadi sorotan?
Apa yang membuat topik HAM tidak menjadi arus utama di Indonesia?
Silvanus Alvin, pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, mengamati isu HAM belum menjadi arus utama di Indonesia – walaupun dia mengapresiasi upaya para aktivis dalam mendengungkannya.
Silvanus menyebut kebanyakan publik Indonesia masih harus mementingkan kebutuhan primer. Apalagi kelompok anak muda yang baru bekerja kini menjadi “generasi sandwich” sehingga topik seputar HAM bukanlah hal utama bagi mereka.
“Alhasil program seperti susu dan makan siang gratis untuk anak sekolah lebih bisa diterima karena relevan bagi mereka,” tutur Silvanus kepada BBC News Indonesia.
Silvanus menambahkan bahwa media pers nasional saat ini kebanyakan dikuasai oleh individu yang erat dengan politik.
“Sehingga pesan yang dititikberatkan juga yang lebih condong pada kepentingan mereka,” jelas Silvanus melalui pesan teks.
“Lebih lanjut, ada pula logika media yang memang mencari pembaca dan penonton yang menimbulkan konten-konten berita lebih berfokus pada politainment [politik yang menghibur] .
Silvanus mengakui dalam beberapa survei Prabowo – Gibran masih unggul dalam bursa capres. Menurut dia, hal ini tidak lepas dari keikutsertaan Prabowo dalam beberapa edisi pemilu terakhir sehingga namanya terus “menghiasi pesta demokrasi di Indonesia”.
Selain itu, dia mencatat perubahan strategi komunikasi politik Prabowo yang lebih menghibur dan “humoris” dengan “dibalut narasi gemoy” dari yang sebelumnya mengedepankan ketegasan.
“Gemoy-gemoy memberikan narasi yang mudah dicerna dan mudah menangkap perhatian dan mudah diingat Terbukti manakala dalam debat capres [Prabowo] diserang, ada kelompok anak muda yang notabene influencer mengunggah diri mereka menangis melihat dia diserang,” ujar Silvanus.
Ditanya apakah para aktivis HAM dapat melakukan hal yang serupa dari sisi penginformasian kepada generasi muda mengenai isu pelanggaran HAM, Silvanus mengatakan:
“Di era sekarang barangkali perlu dibuat konten yang lebih sederhana dengan pendekatan snackable content. Artinya konten yang tidak terlalu panjang tapi mudah dipahami,” imbuhnya.
Secara terpisah, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan selama ini isu HAM memang hanya dikonsumsi segelintir orang seperti aktivis saja. Sehingga, sambung dia, tidak ada “shared reality” atau realitas bersama yang menyentuh semua orang.
Dia menegaskan mayoritas publik tidak bisa dimarahi apabila tidak memahami isu HAM sebab apa yang disebut sebagai “pelanggaran HAM berat” memang tidak dirasakan oleh masyarakat luas.
Di sisi lain, Hamdi mengamati tim Prabowo sudah melakukan pendekatan terhadap masyarakat secara konsisten sejak 2014. Hal ini, menurut dia, terlihat dari perolehan suara Prabowo pada Pemilu 2019 yang memperoleh 44,5% suara pemilih.
“Dalam psikologi politik, faktor yang paling kuat untuk mendorong orang itu: emosi, rasa suka. Orang udah suka ya suka aja,” ujar Hamdi yang merujuk kepada beberapa survei yang menunjukkan keunggulan Prabowo dalam jajak pendapat.
‘Bukan gosip, tetapi fakta!’
Bedjo Untung, penyintas kasus kekerasan pasca 1965 dan mantan tahanan politik era Orde Baru, mengatakan para korban dan aktivis hak asasi manusia harus terus-menerus mengangkat berbagai kasus kejahatan HAM berat supaya masyarakat luas tahu sejarah yang sebenarnya.
Menurut dia, cuci otak era Orde Baru masih terasa hingga sekarang dalam pemutarbalikan sejarah sehingga “membohongi” masyarakat terutama generasi muda seperti Gen Z. Ini tidak lepas dari kurikulum tentang sejarah dan pendidikan HAM yang tidak maksimal.
“Negara [juga] masih belum membuka dokumen keterlibatannya dalam berbagai kasus kejahatan dari sejak kasus Tragedi 1965, Aceh, Timor Leste, Priok, Trisakti, Semanggi, dan lain-lain,” ujar Bedjo kepada BBC News Indonesia.
“Bandingkan dengan CIA yang telah mendeklasifikasikan dokumennya sehingga publik bisa mengakses.”
Bedjo mengakui adanya kekhawatiran Aksi Kamisan hanya akan mendapatkan janji kosong dari pemerintah. Dia mencontohkan Presiden Jokowi yang berkomitmen menyelesaikan HAM tetapi tidak kunjung melakukannya dalam dua periode.
“Kita meyakini, perubahan politik, hukum dan hak asasi manusia tidak akan berlangsung instan melainkan melalui proses. Bagi kami, Aksi Kamisan kini sudah menjadi simbol perlawanan rakyat untuk memperoleh keadilan dan kebenaran. Kini sudah banyak diadakan di berbagai kota: Balikpapan, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang, Bandung, Padang, dll,” ujar Bedjo.
Bedjo menegaskan Aksi Kamisan bukanlah aksi lima tahunan dan mereka tidak secara spesifik mendukung salah satu capres dan cawapres tertentu.
Pada peringatan 17 tahun Aksi Kamisan ini, Bedjo mengatakan mereka melakukan roadshow ke kampus-kampus di seluruh Indonesia.
“Dimulai dari UI Depok, mahasiswa se-Tangerang di Universitas STISNU Cikokol, Tangerang dan diskusi secara khusus dengan mahasiswa di Jakarta,” ujar Bedjo
“Masih terus berproses. Mahasiswa Gen Z sudah mulai tergugah, bangkit kesedarannya. Mereka berjanji akan adakan diskusi yang lebih intensif lagi. Ya, kita para korban sudah mulai mengajak para generasi muda dengan menggunakan Bahasa yang mudah dimengerti, sesuai dengan pemahamannya.”
Menurut Al Araf, Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative, kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu seolah-olah tenggelam karena “dibunuh secara perlahan” oleh rezim yang “menunda-nunda dan bermain-main dengan waktu penyelesaian kasus pelanggaran HAM”.
“Akhirnya kondisi ini berdampak pada stagnasi penegakkan HAM. Di awal reformasi, semangat penegakan HAM kuat dan isu HAM kuat. Tetapi karena negara abai akhirnya terjadi stagnasi,” ujarnya kepada BBC Indonesia.
Kendati demikian, Al Araf meyakini upaya selama ini seperti Aksi Kamisan tetap harus diteruskan dan akan membuahkan hasil. Dia menambahkan: “Fakta penculikan bukan gosip, tetapi fakta hukum kejahatan. Sehingga capres penculik harus ditolak. Karena pelanggaran HAM berat masa lalu bukan isu musiman tetapi fakta yang terus diperjuangkan.”
Al Araf mengakui jumlah generasi baru yang lahir pasca-1998 dan menjadi pemilih pemula pada Pemilu 2019 melampaui 22%. Hal ini membuat proses komunikasi dan sosialisasi diperlukan untuk memberikan pemahaman di publik.
“Ini peran lembaga pendidikan untuk menjelaskan sejarah penculikan,” ujar Al Araf.
Soe Tjen Marching, peneliti dan pengajar di University of London yang juga pemerhati HAM, termasuk individu yang cukup gencar di media sosial menolak Prabowo Subianto sebagai calon presiden karena rekam jejak HAM-nya.
“Siapapun Presidennya, sy tdk dapat keuntungan politik, jg tak banyak berdampak pd hidup saya, krn saya tinggal di London. Tp berdasarkan data & bukti, si gemoy adl pelanggar HAM besar. Nurani saya tak bisa membiarkan pelanggar HAM berkuasa. #AsalBukanPrabowo #asalbukan02,” tulis Soe Tjoen dalam akun X, sebelumnya Twitter, pada 12 Januari 2024.
Kendati demikian, survei-survei elektabilitas Capres-Cawapres 2024 yang dirangkum Kompas memperlihat pasangan Prabowo-Gibran masih unggul meski adanya tagar tersebut.
Saat BBC News Indonesia menanyakan hal ini kepada Soe Tjoen via sambungan telepon pada Kamis (18/01), dia mengatakan tagar #AsalBukanPrabowo “sempat mainstream” dan “agak viral” meski diakuinya hanya “sebentar saja”.
“Banyak orang itu yang kalau memilih itu tidak berdasarkan penelitian yang sungguh-sungguh, tetapi siapa yang kira-kira mereka suka atau kelihatannya simpatik,” ujar Soe Tjoen sekaligus menegaskan dirinya bukan penginisiasi tagar #AsalBukanPrabowo meski ikut meramaikannya.
Soe Tjoen menyebut kebanyakan orang enggan menghabiskan waktu untuk meneliti siapa calon yang mereka pilih. Di sisi lain, pihak-pihak “yang punya kemampuan untuk meneliti karena masalah kepentingan” kadang-kadang bersikap pro yang bisa menguntungkan mereka.
“Mereka sudah sibuk dengan cari duit, kehidupan sehari-hari. Jadi kalau dihadapkan dengan ‘penjual jamu’ yang menjanjikan hal macam-macam yang bisa mengubah hidup mereka, mereka bisa terperdaya.”
Menurut Soe Tjoen, hal ini membuat siapa pun yang memiliki dana besar pula untuk memproyeksikan citra yang simpatik seperti Donald Trump di Amerika Serikat dan Bongbong Marcos di Filipina yang memiliki dana besar.
“Seperti Prabowo jadi gemoy,” tambahnya.
Soe Tjoen mengakui apa yang terjadi di Filipina, di mana Bongbong Marcos, putra mantan diktator Ferdinand Marcos Jr, terpilih menjadi presiden pada 2022 “bisa terjadi” di Indonesia – dalam hal ini apabila Prabowo terpilih.
Namun, Soe Tjoen menolak apabila dikatakan isu HAM hanya didengungkan lima tahun sekali.
“Kita sudah bertahun-tahun [menyuarakan HAM]. Kamisan itu enggak cuma lima tahunan,” tegasnya.
Suciwati, aktivis HAM yang juga istri dari Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM yang tewas dibunuh pada 2004, mengatakan tagar #AsalBukanPrabowo tidak menjadi mainstream karena kurikulum pendidikan tidak membahas mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat.